Selasa, 01 Juni 2010

BAGAMPIRAN

Bagampiran dalam Masyarakat Banjar

Bagampir atau bagampiran adalah persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh, yakni, roh manusia yang hidup di alam dunia (fisik) dengan roh yang hidup di alam gaib (metafisik). Dalam kehidupan masyarakat Banjar, bagampiran adalah sesuatu yang realitas, bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan masyarakat Banjar terhadap roh dan alam gaib.
Makna
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian berjudul: "Bagampiran dan Kepercayaan Masyarakat Banjar Terhadap Roh", yang saya lakukan dalam rentang waktu yang lumayan lama, dan masih dalam proses pengayaan informasi serta data. Namun saya rasa perlu untuk dipublikasikan, walaupun ala kadarnya.
Bagampiran cukup signifikan untuk diteliti, karena secara luas memperlihatkan berbagai permasalahan penting kepada kita berkenaan dengan kepercayaan orang Banjar terhadap roh (dunia jin dan alam gaib). Misalnya, apakah roh orang mati bisa berhubungan (bahkan bersatu atau bagampir) dengan roh orang hidup? Jika bisa, maka ketika mati ke mana atau di mana sebenarnya roh tersebut berada? Yang menggampiri tersebut apakah benar roh ataukah jin? Apakah benar manusia biasa (tokoh-tokoh tertentu) bisa berubah, tidak mati, dan menjadi penghuni alam gaib, sehingga bisa dihubungi? Apakah seseorang bisa pindah statusnya, dari penghuni alam dunia menjadi penghuni alam gaib? Jika bisa apakah kehidupannya di alam gaib dalam bentuk fisik ataukah dalam bentuk roh? dan lain-lain.
Menurut bahasa, bagampiran, terambil dari kata dasar gampir yang dalam kosa kata bahasa Banjar bermakna rekat, satu, atau dempet. Bagampir, berarti bersatu, menyatu, atau berdempet, yakni sesuatu yang menjadi satu atau berdempet, dua benda yang berdempet menjadi satu atau merekat, misalnya buah. Gampir bisa pula berarti bersatu atau menjadi satu sesuatu yang sama sifat dan jenisnya atau kembar.
Adapun yang dimaksud dengan gampir atau bagampir dalam konteks di sini bukan berarti merekat, berdempet, atau bersatunya suatu benda secara fisik, seperti yang umum terjadi pada buah (misalnya buah pisang), telur ayam, dan lain-lain. Tetapi, kata gampir atau bagampir yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh,roh manusia yang hidup di alam nyata (dunia) dan satu lagi yang hidup di alam gaib (metafisik). Karena itu, kata bagampiran (mendapat awalan ba, yang sama dengan awalan ber) dan akhiran an berarti mereka yang memiliki gampiran. Gampiran adalah roh-roh dari alam gaib yang memasuki, merasuki, bersatu dengan roh manusia (orang yang digampiri). Digampiri berarti dimasuki, dirasuki, atau disusupi oleh roh (roh halus) yang berasal dari alam gaib.
Di samping itu, kata lain yang memiliki makna dan fenomena serupa dengan bagampiran adalah barasuk dan kesurupan.
Barasuk berarti menyatukan diri secara rohani dengan rohani orang lain yang dikehendaki untuk mendapatkan sesuatu (kekuatan, keterampilan, keahlian, atau kepandaian) pada saat-saat yang dikehendaki setelah melalui ritual tertentu (meditasi atau wiridan, misalnya).
Kasurupan atau kerasukan adalah orang yang terkena gangguan atau dirasuki oleh roh halus atau jin jahat, yang secara kejiwaan sering dikatakan kena pulasit. Karena itu kasurupan atau kerasukan bersifat negatif karena mengganggu atau menyakiti orang yang kerasukan tersebut. Sedangkan Bagampiran tidak bisa diminta atau diinginkan dan pada kebanyakan kasus tidak bisa pula ditolak. Sebab, bagampiran hanya terjadi pada orang-orang tertentu saja. Karenanya, bagampiran tidak berimplikasi negatif, tetapi dalam rangka memberi bantuan atau pertolongan kepada orang lain dan keluarga yang digampiri khususnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, sifat dari bagampiran adalah pasif dan positif, sifat dari barasuk aktif dan umumnya positif, sedangkan sifat dari kesurupan adalah pasif dan negatif. Semuanya bersifat sementara, tetapi bagampiran lebih permanen. Karena itu bagampiran berbeda dengan kesurupan, sebab walaupun orang yang digampiri atau dirasuki sama-sama tidak sadar tetapi kalau kesurupan lebih membawa mudharat kepada orang yang dirasuki sedangkan orang yang dimasuki gampirannya tidak apa-apa. Bahkan waktu-waktu terjadinya bagampiran itu adalah waktu-waktu yang biasanya memang diperlukan, misalnya karena ada orang meminta pertolongan dan hajat tertentu atau karena ada sesuatu yang bersifat penting yang hendak diberitahukan oleh gampirannya.

Dilihat dari pengertian di atas, maka secara maknawi, bagampiran memiliki dan memperlihatkan kesamaan arti (sifat) dengan reinkarnasi yang dipercayai oleh suku bangsa Yunani kuno, beberapa kelompok masyarakat primitif, sebagian orang Syiah, beberapa kelompok gerakan spiritualisme (misalnya di India), penganut agama Budha, Hindu, orang-orang Tionghoa (China), dan pengikut Dalai Lama di Tibet. Konsep bagampiran juga memperlihatkan kemiripan dengan proses terjadinya ittihad atau hulul, (penyatuan dengan Tuhan) dalam dunia sufi (tasawuf).
Proses bagampiran adalah proses penyatuan atau masuknya roh (roh orang gaib, roh tokoh yang sudah meninggal, atau jin) ke dalam tubuh seseorang. Sedangkan reinkarnasi berarti hidup atau masuknya kembali roh yang meninggal ke dalam tubuhnya yang baru.
Dalam realitas masyarakat Banjar sendiri bagampiran adalah sesuatu yang bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, misalnya penelitian Dr. Raymond A Moody tentang orang-orang yang mati suri, pengalaman pertemuan dan komunikasi dengan roh orang-orang yang sudah meninggal (Sayyid Hasan Abthahy, Rahasia Alam Arwah, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), meja bundar, mediator, dan berhubungan dengan roh (Nashir Makarim Syirazi, Berhubungan dengan Roh, Jakarta: Penerbit Lentera, 2005), dan lain-lain, maka bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan suatu masyarakat (Banjar) dan masuk dalam wilayah kajian psikologi tentang hal-hal yang gaib atau supranatural (Parapsikologi).
Jenis Gampiran
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang saya lakukan, setidaknya ada empat jenis bagampiran:
Pertama, bagampiran dengan kembaran (saudara) kandung sendiri yang dianggap hilang atau gaib atau meninggal ketika sama-sama dilahirkan.
Kedua, bagampiran dengan anggota keluarga yang telah meninggal dunia atau memiliki hubungan darah (geneologis).
Ketiga, bagampiran dengan tokoh-tokoh yang pernah hidup pada masa sebelumnya atau masa lalu yang telah gaib dan menjadi penghuni alam gaib, misalnya Pangeran Suryanata, Putri Junjung Buih, Lambung Mangkurat, Putri Mayang Sari, dan sebagainya (ada asumsi bahwa mereka yang bagampiran dengan tokoh-tokoh tertentu ini umumnya juga memiliki hubungan darah/keturunan dari tokoh dimaksud, sebagaimana pengakuan dari mereka yang memiliki gampiran).
Keempat, bagampiran dengan orang-orang dari alam gaib (jin), yang kadang-kadang hadir atau menjelma (manyaru) dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk binatang (biasanya agak aneh, unik, atau langka), ular, belalang, dan lain-lain, yang kehadirannya tidak boleh diganggu atau diusik
Agak susah memang menjelaskan secara ilmiah terjadinya proses bagampiran tersebut, tetapi biasanya mereka yang bagampiran lebih disebabkan oleh karena adanya hubungan darah (geneologis) atau faktor keturunan, sehingga mereka yang digampiri dianggap sebagai "orang pilihan", yakni mereka-mereka yang secara kejiwaan dikatakan memiliki bakat indigos (bakat untuk melihat atau berhubungan dengan hal-hal yang gaib, seperti paranormal), katakanlah memiliki indera keenam. Karenanya, bagampiran itu adalah sesuatu yang terjadi tanpa bisa dikehendaki, dan bahkan pada kebanyakan kasus merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak, oleh mereka yang digampiri.
Implikasi Bagampiran
Implikasi dari bagampiran itu sendiri biasanya menjadikan seseorang yang digampiri memiliki semacam kekuatan gaib (mana) atau tuah. Mana adalah sebuah kekuatan gaib, kekuatan batin yang rahasianya tidak diketahui, bersifat personal dan misterius, yang melekat pada suatu benda atau dimiliki seseorang yang dianggap luar biasa. Mana disebut pula dengan kami (Jepang), hari atau shakti (India), oudah (Pigmi Afrika), wakan, orenda, dan maniti (Indian Amerika). Sehingga dengan kekuatan gaib tersebut ia bisa menolong orang lain dan memposisikan dirinya (pada kebanyakan kasus) sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan dan kelebihan tertentu, seperti:

(1) Mampu memberikan air penawar untuk mereka yang menderita sakit-sakit tertentu, seperti sakit panas, sakit perut, sakit kepala, masuk angin (manyamak), kapuhunan, kapidaraan (ditagur urang halus), dan sejenisnya.

2) Mampu memberikan pengobatan terhadap orang yang terkena sakit akibat pengaruh gaib atau kekuatan magis (kena santet, teluh, atau guna-guna) atau terkena racun gaduhan, terkena pulasit, dan sebagainya yang tidak bisa diobati secara medis. Pengobatan ini dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan ritual tertentu, seperti memberi rajahan, wafak, pengobatan, air tawar yang mengandung manna, mandi (mandi kembang, mandi dengan kain berwarna, mandi membuang sial, mandi kebal), maupun ritual yang lain.

(3) Memiliki kekuatan gaib, misalnya melihat benda-benda gaib, alam gaib, bisa berhubungan dengan orang gaib, melihat barang yang hilang, dapat membaca tanda-tanda gaib, dan lain-lain.

(4) Mampu berkomunikasi dengan orang gaib, sehingga mampu mengetahui maksud dan keinginan orang gaib. Memberikan informasi-informasi tertentu yang bersifat penting, memberi peringatan, bahkan juga pelajaran-pelajaran tertentu.
Kemampuan untuk memberikan air tawar, mengobati orang kena guna-guna, atau sakit karena kekuatan magis, memiliki kekuatan gaib, mampu melihat dan berkomunikasi dengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seordengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seorang tuan guru, alim ulama yang tinggi ilmu agama dan kuat amal ibadahnya, atau oleh mereka yang telah lulus dalam menjalani ritual serta prosesi tertentu untuk meraih kemampuan tersebut (misalnya dengan meditasi, wiridan, balampah atau tirakat, puasa, dan sebagainya).
Untuk menjaga hubungan baik dengan orang yang menggampiri, (pada kasus-kasus tertentu yang saya temui) mereka yang memiliki gampiran biasanya disuruh untuk menyiapkan kopi pahit, kue (roti kelemben), dan air kembang saban malam Jumat, atau kamar dan kelambu khusus (kelambu kecil) sebagai simbol tempat tinggal gampirannya, tidak melakukan pantangan, tidak berbuat maksiat, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas di atas, bagaimana pandangan dunia modern terhadap bagampiran? Pertanyaan ini signifikan tetapi agak susah dijawab, karena untuk menjelaskannya secara panjang lebar diperlukan kajian yang mendalam. Sebab untuk melahirkan persepktif yang multi dimensi terhadap bagampiran diperlukan kajian secara historis, antropolgis, sosiologis, dan magis, guna menghasilkan pengetahuan dan data yang komprehensif berkenaan dengan sejarah terjadinya bagampiran. Mengapa terjadi bagampiran? Bagaimana terjadinya bagampiran? Apa makna yang terkandung dalam bagampiran? Benarkah bagampiran itu terjadi? Adakah bagampiran itu terkait dengan dunia tasawuf (sufi), misalnya dengan aliran hulul, ittihad, atau fana? Apa hubungan bagampiran dengan reinkarnasi? dan sebagainya. Tentu saja forum ini tidak cukup bagi saya untuk menjelaskannya secara panjang lebar, karena itu cukuplah saya katakan bahwa dalam konteks dunia jin, bagampiran itu bisa diqiyaskan dan kurang lebih sama dengan istilah muwakkal, yakni berkawan dengan jin.
Berdasarkan uraian di atas, secara teologis bagampiran memperlihatkan kepada kita bagaimana konsep dan pemahaman masyarakat Banjar tentang dunia jin, alam gaib, dan roh. Pertama, sebagian masyarakat Banjar mempercayai bahwa ada orang-orang tertentu (tokoh) yang hidup pada zaman dahulu tidak mati, tetapi mereka menjadi orang gaib dan hidup di alam gaib (alam sabalah). Kedua, pada kasus-kasus tertentu, orang-orang yang hilang secara gaib dipercayai masih hidup tetapi hidupnya di alam gaib. Ketiga, roh-roh dari tokoh-tokoh tertentu bisa berhubungan atau menghubungi keluarganya dan orang-orang tertentu yang dikehendaki. Keempat, orang-orang yang hidup di alam nyata bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan orang-orang dari alam gaib (termasuk jin). Wallahua'lam
[http://zuljamalie.blogdetik.com/2008/08/04/bagampiran-dalam-masyarakat/]E-Book By [M. Ridhanie Elbanz] Email [maedhanie@gmail.com]

SUKU BANJAR

Posted in: Agama Budaya

ASAL-USUL (SEJARAH) SUKU BANJAR
SUKU bangsa Banjar ialah penduduk asli yang mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Mereka itu diduga memiliki kesamaan dengan penduduk pulau Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya, setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan, terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada dasarnya ialah penduduk yang mendiami daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami daerah sekitar Banjarmasin (dan Martapura).
Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu-kotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
SUKU bangsa Melayu, yang menjadi inti masyarakat Banjar, memasuki daerah ini, ketika dataran dan rawa-rawa yang luas yang saat ini membentuk bagian besar Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman. Sukubangsa Melayu itu, dengan melalui laut Jawa, memasuki teluk raksasa tersebut, lalu memudiki sungai-sungai yang bermuara ke sana, dan yang belakangan menjadi cabang-cabang sungai Negara, yang semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus. Mereka tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama.
Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal-usul dengan cikal-bakal suku-bangsa Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat asal Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meski pun kelompok suku Banjar (baca: Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga ada pada masyarakat Balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada prinsipnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya merupakan wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah ini pulalah yang kemudian dinamakan Pahuluan.
Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya. Masyarakat Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalung. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, se-hingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalung adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Manyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani, maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengrajin.

Etika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjar), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini, dan dengan demikian terbentuklah subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju yang, seperti halnya dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Manyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam, atau berimigrasi ke tempat-tempat lain, khususnya ke sebelah barat sungai Barito. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Bubuhan adalah merupakan kelompok kekerabatan ambilinial: seseorang menjadi warga masyarakat bubuhan karena ia masih se-keturunan dengan mereka, dari pihak ibu saja atau dari pihak ayah saja, mau pun kedua-duanya, dan menetap dalam lingkungan bubuhan tersebut. Seseorang dapat masuk menjadi warga kelompok apabila ia kawin dengan salah seorang warga dan menetap dalam lingkungan pemukiman mereka. Hal yang sama masih terjadi di kalangan masyarakat Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang. Kelompok bubuhan dipimpin oleh seorang warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan, yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti seorang kepala balai, yang biasanya selalu seorang balian bagi masyarakat Bukit sampai belum lama ini. Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalamnya dan kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui.
Umumnya, sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah anak kampung, gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu. Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan kesultanan di daerah, yaitu biasanya seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa pula. Beberapa orang lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun waktu yang sama. Dengan sendirinya seseorang yang menduduki jabatan formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula di dalam lingkungan bubuhannya.
Dengan demikian dapat kita nyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin juga rejim-rejim sebelumnya, diatur secara hierarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan beserta kerabatnya ditambah dengan pembesar-pembesar kerajaan (mantri-mantri). Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan membawahi beberapa kelompok bubuhan rakyat jelata pada tingkat paling bawah. Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan (kerajaan), dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di atas desa (kampung) tidak lagi ditentukan oleh keturunan, melainkan melalui pendidikan, dan ini terjadi sekitar permulaan abad ke-20, tetapi di tingkat desa peranan bubuhan masih kuat.
Setelah kesultanan Banjar dibubarkan oleh penjajah Belanda, banyak orang Banjar yang berimigrasi ke luar daerah. Salah satunya adalah ke Sapat Kerajaan Indragiri (saat ini: Kabupaten Indragiri Hilir), bahkan di antaranya ada pula yang ke Malaysia (Selangor, Kedah, dan lain-lain).[http://zuljamalie.blogdetik.com/perihal/]
------