Rabu, 22 September 2010

Sultan Banjar di pengasingannya Cianjur 1862 - 1904 M


Sultan Hidayatullah Al-Watsiqubillah Pengganti Sultan Adam ketika diasingkan di Cianjur berusia 40 tahun, usia matang untuk memberikan syiar Islam di tanah Jawa,, perjuangannya di tanah Jawa khususnya Jawa Barat memberikan siraman segar setelah sekian tahun kuku kafir Belanda tertancap di tanah Jawa dimulai dengan ditaklukannya Sunda Kelapa ~ 1600 M.

Dengan Cianjur sebagai sentra dakwah beliau maka disekitarnya berdiri beberapa Pesantren.. cikal bakal pematangan umat untuk memberikan perlawanan terhadap kaum kafir,,walaupun tempat pengasingan beliau dekat sekali dengan Istana Gubernur Jendral Belanda di Cipanas tidak menyurutkan Sultan bersama keluarga untuk menyebarkan ilmunya.

Berbondong-bondong orang ramai mendengar Syiar Islam di tempat pengasingan Sultan, makin lama makin ramai.kegigihan terhadap Syiar Islam ini membuat ketakutan lagi bagi pihak Belanda di tanah Jawa. Belanda jeri dengan perjuangan urang Banjar sebelumnya.

Sehingga ditengah2 kampung Banjar (~ 60 orang Banjar yg diasingkan beserta Sultan) di buatlah Kampung Tangsi, Beliau hanya bisa meninggalkan Tangsi itu pada hari Jumat untuk melakukan shalat jumat di Mesjid Agung Cianjur, tentu dengan pengawalan ketat Belanda.

Beliau meninggal pada usia 82 tahun pada tahun 1904 dan dikenal dengan sebutan " Ulama Besar Berjubah Kuning dengan senjata ampuh ditangan " .

Sultan Hidayatullah sempat menjadi Pahlawan Nasional jaman Presiden Sukarno,, setelah itu dicabut dan difitnah pada era Presiden Soeharto,,, dua kepentingan besar dibalik pencabutan gelar Pahlawan ini. akhirnya Urang Banjar wayahini apalagi nang anum2 kada tahu perjuangan urang Banjar Bahari... ~_~,

Illa hadratin Sultan Hidayatullah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-watsiqubillah... Al-Fatihah..

Selasa, 01 Juni 2010

BAGAMPIRAN

Bagampiran dalam Masyarakat Banjar

Bagampir atau bagampiran adalah persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh, yakni, roh manusia yang hidup di alam dunia (fisik) dengan roh yang hidup di alam gaib (metafisik). Dalam kehidupan masyarakat Banjar, bagampiran adalah sesuatu yang realitas, bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan masyarakat Banjar terhadap roh dan alam gaib.
Makna
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian berjudul: "Bagampiran dan Kepercayaan Masyarakat Banjar Terhadap Roh", yang saya lakukan dalam rentang waktu yang lumayan lama, dan masih dalam proses pengayaan informasi serta data. Namun saya rasa perlu untuk dipublikasikan, walaupun ala kadarnya.
Bagampiran cukup signifikan untuk diteliti, karena secara luas memperlihatkan berbagai permasalahan penting kepada kita berkenaan dengan kepercayaan orang Banjar terhadap roh (dunia jin dan alam gaib). Misalnya, apakah roh orang mati bisa berhubungan (bahkan bersatu atau bagampir) dengan roh orang hidup? Jika bisa, maka ketika mati ke mana atau di mana sebenarnya roh tersebut berada? Yang menggampiri tersebut apakah benar roh ataukah jin? Apakah benar manusia biasa (tokoh-tokoh tertentu) bisa berubah, tidak mati, dan menjadi penghuni alam gaib, sehingga bisa dihubungi? Apakah seseorang bisa pindah statusnya, dari penghuni alam dunia menjadi penghuni alam gaib? Jika bisa apakah kehidupannya di alam gaib dalam bentuk fisik ataukah dalam bentuk roh? dan lain-lain.
Menurut bahasa, bagampiran, terambil dari kata dasar gampir yang dalam kosa kata bahasa Banjar bermakna rekat, satu, atau dempet. Bagampir, berarti bersatu, menyatu, atau berdempet, yakni sesuatu yang menjadi satu atau berdempet, dua benda yang berdempet menjadi satu atau merekat, misalnya buah. Gampir bisa pula berarti bersatu atau menjadi satu sesuatu yang sama sifat dan jenisnya atau kembar.
Adapun yang dimaksud dengan gampir atau bagampir dalam konteks di sini bukan berarti merekat, berdempet, atau bersatunya suatu benda secara fisik, seperti yang umum terjadi pada buah (misalnya buah pisang), telur ayam, dan lain-lain. Tetapi, kata gampir atau bagampir yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh,roh manusia yang hidup di alam nyata (dunia) dan satu lagi yang hidup di alam gaib (metafisik). Karena itu, kata bagampiran (mendapat awalan ba, yang sama dengan awalan ber) dan akhiran an berarti mereka yang memiliki gampiran. Gampiran adalah roh-roh dari alam gaib yang memasuki, merasuki, bersatu dengan roh manusia (orang yang digampiri). Digampiri berarti dimasuki, dirasuki, atau disusupi oleh roh (roh halus) yang berasal dari alam gaib.
Di samping itu, kata lain yang memiliki makna dan fenomena serupa dengan bagampiran adalah barasuk dan kesurupan.
Barasuk berarti menyatukan diri secara rohani dengan rohani orang lain yang dikehendaki untuk mendapatkan sesuatu (kekuatan, keterampilan, keahlian, atau kepandaian) pada saat-saat yang dikehendaki setelah melalui ritual tertentu (meditasi atau wiridan, misalnya).
Kasurupan atau kerasukan adalah orang yang terkena gangguan atau dirasuki oleh roh halus atau jin jahat, yang secara kejiwaan sering dikatakan kena pulasit. Karena itu kasurupan atau kerasukan bersifat negatif karena mengganggu atau menyakiti orang yang kerasukan tersebut. Sedangkan Bagampiran tidak bisa diminta atau diinginkan dan pada kebanyakan kasus tidak bisa pula ditolak. Sebab, bagampiran hanya terjadi pada orang-orang tertentu saja. Karenanya, bagampiran tidak berimplikasi negatif, tetapi dalam rangka memberi bantuan atau pertolongan kepada orang lain dan keluarga yang digampiri khususnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, sifat dari bagampiran adalah pasif dan positif, sifat dari barasuk aktif dan umumnya positif, sedangkan sifat dari kesurupan adalah pasif dan negatif. Semuanya bersifat sementara, tetapi bagampiran lebih permanen. Karena itu bagampiran berbeda dengan kesurupan, sebab walaupun orang yang digampiri atau dirasuki sama-sama tidak sadar tetapi kalau kesurupan lebih membawa mudharat kepada orang yang dirasuki sedangkan orang yang dimasuki gampirannya tidak apa-apa. Bahkan waktu-waktu terjadinya bagampiran itu adalah waktu-waktu yang biasanya memang diperlukan, misalnya karena ada orang meminta pertolongan dan hajat tertentu atau karena ada sesuatu yang bersifat penting yang hendak diberitahukan oleh gampirannya.

Dilihat dari pengertian di atas, maka secara maknawi, bagampiran memiliki dan memperlihatkan kesamaan arti (sifat) dengan reinkarnasi yang dipercayai oleh suku bangsa Yunani kuno, beberapa kelompok masyarakat primitif, sebagian orang Syiah, beberapa kelompok gerakan spiritualisme (misalnya di India), penganut agama Budha, Hindu, orang-orang Tionghoa (China), dan pengikut Dalai Lama di Tibet. Konsep bagampiran juga memperlihatkan kemiripan dengan proses terjadinya ittihad atau hulul, (penyatuan dengan Tuhan) dalam dunia sufi (tasawuf).
Proses bagampiran adalah proses penyatuan atau masuknya roh (roh orang gaib, roh tokoh yang sudah meninggal, atau jin) ke dalam tubuh seseorang. Sedangkan reinkarnasi berarti hidup atau masuknya kembali roh yang meninggal ke dalam tubuhnya yang baru.
Dalam realitas masyarakat Banjar sendiri bagampiran adalah sesuatu yang bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, misalnya penelitian Dr. Raymond A Moody tentang orang-orang yang mati suri, pengalaman pertemuan dan komunikasi dengan roh orang-orang yang sudah meninggal (Sayyid Hasan Abthahy, Rahasia Alam Arwah, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), meja bundar, mediator, dan berhubungan dengan roh (Nashir Makarim Syirazi, Berhubungan dengan Roh, Jakarta: Penerbit Lentera, 2005), dan lain-lain, maka bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan suatu masyarakat (Banjar) dan masuk dalam wilayah kajian psikologi tentang hal-hal yang gaib atau supranatural (Parapsikologi).
Jenis Gampiran
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang saya lakukan, setidaknya ada empat jenis bagampiran:
Pertama, bagampiran dengan kembaran (saudara) kandung sendiri yang dianggap hilang atau gaib atau meninggal ketika sama-sama dilahirkan.
Kedua, bagampiran dengan anggota keluarga yang telah meninggal dunia atau memiliki hubungan darah (geneologis).
Ketiga, bagampiran dengan tokoh-tokoh yang pernah hidup pada masa sebelumnya atau masa lalu yang telah gaib dan menjadi penghuni alam gaib, misalnya Pangeran Suryanata, Putri Junjung Buih, Lambung Mangkurat, Putri Mayang Sari, dan sebagainya (ada asumsi bahwa mereka yang bagampiran dengan tokoh-tokoh tertentu ini umumnya juga memiliki hubungan darah/keturunan dari tokoh dimaksud, sebagaimana pengakuan dari mereka yang memiliki gampiran).
Keempat, bagampiran dengan orang-orang dari alam gaib (jin), yang kadang-kadang hadir atau menjelma (manyaru) dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk binatang (biasanya agak aneh, unik, atau langka), ular, belalang, dan lain-lain, yang kehadirannya tidak boleh diganggu atau diusik
Agak susah memang menjelaskan secara ilmiah terjadinya proses bagampiran tersebut, tetapi biasanya mereka yang bagampiran lebih disebabkan oleh karena adanya hubungan darah (geneologis) atau faktor keturunan, sehingga mereka yang digampiri dianggap sebagai "orang pilihan", yakni mereka-mereka yang secara kejiwaan dikatakan memiliki bakat indigos (bakat untuk melihat atau berhubungan dengan hal-hal yang gaib, seperti paranormal), katakanlah memiliki indera keenam. Karenanya, bagampiran itu adalah sesuatu yang terjadi tanpa bisa dikehendaki, dan bahkan pada kebanyakan kasus merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak, oleh mereka yang digampiri.
Implikasi Bagampiran
Implikasi dari bagampiran itu sendiri biasanya menjadikan seseorang yang digampiri memiliki semacam kekuatan gaib (mana) atau tuah. Mana adalah sebuah kekuatan gaib, kekuatan batin yang rahasianya tidak diketahui, bersifat personal dan misterius, yang melekat pada suatu benda atau dimiliki seseorang yang dianggap luar biasa. Mana disebut pula dengan kami (Jepang), hari atau shakti (India), oudah (Pigmi Afrika), wakan, orenda, dan maniti (Indian Amerika). Sehingga dengan kekuatan gaib tersebut ia bisa menolong orang lain dan memposisikan dirinya (pada kebanyakan kasus) sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan dan kelebihan tertentu, seperti:

(1) Mampu memberikan air penawar untuk mereka yang menderita sakit-sakit tertentu, seperti sakit panas, sakit perut, sakit kepala, masuk angin (manyamak), kapuhunan, kapidaraan (ditagur urang halus), dan sejenisnya.

2) Mampu memberikan pengobatan terhadap orang yang terkena sakit akibat pengaruh gaib atau kekuatan magis (kena santet, teluh, atau guna-guna) atau terkena racun gaduhan, terkena pulasit, dan sebagainya yang tidak bisa diobati secara medis. Pengobatan ini dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan ritual tertentu, seperti memberi rajahan, wafak, pengobatan, air tawar yang mengandung manna, mandi (mandi kembang, mandi dengan kain berwarna, mandi membuang sial, mandi kebal), maupun ritual yang lain.

(3) Memiliki kekuatan gaib, misalnya melihat benda-benda gaib, alam gaib, bisa berhubungan dengan orang gaib, melihat barang yang hilang, dapat membaca tanda-tanda gaib, dan lain-lain.

(4) Mampu berkomunikasi dengan orang gaib, sehingga mampu mengetahui maksud dan keinginan orang gaib. Memberikan informasi-informasi tertentu yang bersifat penting, memberi peringatan, bahkan juga pelajaran-pelajaran tertentu.
Kemampuan untuk memberikan air tawar, mengobati orang kena guna-guna, atau sakit karena kekuatan magis, memiliki kekuatan gaib, mampu melihat dan berkomunikasi dengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seordengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seorang tuan guru, alim ulama yang tinggi ilmu agama dan kuat amal ibadahnya, atau oleh mereka yang telah lulus dalam menjalani ritual serta prosesi tertentu untuk meraih kemampuan tersebut (misalnya dengan meditasi, wiridan, balampah atau tirakat, puasa, dan sebagainya).
Untuk menjaga hubungan baik dengan orang yang menggampiri, (pada kasus-kasus tertentu yang saya temui) mereka yang memiliki gampiran biasanya disuruh untuk menyiapkan kopi pahit, kue (roti kelemben), dan air kembang saban malam Jumat, atau kamar dan kelambu khusus (kelambu kecil) sebagai simbol tempat tinggal gampirannya, tidak melakukan pantangan, tidak berbuat maksiat, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas di atas, bagaimana pandangan dunia modern terhadap bagampiran? Pertanyaan ini signifikan tetapi agak susah dijawab, karena untuk menjelaskannya secara panjang lebar diperlukan kajian yang mendalam. Sebab untuk melahirkan persepktif yang multi dimensi terhadap bagampiran diperlukan kajian secara historis, antropolgis, sosiologis, dan magis, guna menghasilkan pengetahuan dan data yang komprehensif berkenaan dengan sejarah terjadinya bagampiran. Mengapa terjadi bagampiran? Bagaimana terjadinya bagampiran? Apa makna yang terkandung dalam bagampiran? Benarkah bagampiran itu terjadi? Adakah bagampiran itu terkait dengan dunia tasawuf (sufi), misalnya dengan aliran hulul, ittihad, atau fana? Apa hubungan bagampiran dengan reinkarnasi? dan sebagainya. Tentu saja forum ini tidak cukup bagi saya untuk menjelaskannya secara panjang lebar, karena itu cukuplah saya katakan bahwa dalam konteks dunia jin, bagampiran itu bisa diqiyaskan dan kurang lebih sama dengan istilah muwakkal, yakni berkawan dengan jin.
Berdasarkan uraian di atas, secara teologis bagampiran memperlihatkan kepada kita bagaimana konsep dan pemahaman masyarakat Banjar tentang dunia jin, alam gaib, dan roh. Pertama, sebagian masyarakat Banjar mempercayai bahwa ada orang-orang tertentu (tokoh) yang hidup pada zaman dahulu tidak mati, tetapi mereka menjadi orang gaib dan hidup di alam gaib (alam sabalah). Kedua, pada kasus-kasus tertentu, orang-orang yang hilang secara gaib dipercayai masih hidup tetapi hidupnya di alam gaib. Ketiga, roh-roh dari tokoh-tokoh tertentu bisa berhubungan atau menghubungi keluarganya dan orang-orang tertentu yang dikehendaki. Keempat, orang-orang yang hidup di alam nyata bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan orang-orang dari alam gaib (termasuk jin). Wallahua'lam
[http://zuljamalie.blogdetik.com/2008/08/04/bagampiran-dalam-masyarakat/]E-Book By [M. Ridhanie Elbanz] Email [maedhanie@gmail.com]

SUKU BANJAR

Posted in: Agama Budaya

ASAL-USUL (SEJARAH) SUKU BANJAR
SUKU bangsa Banjar ialah penduduk asli yang mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Mereka itu diduga memiliki kesamaan dengan penduduk pulau Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya, setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan, terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada dasarnya ialah penduduk yang mendiami daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami daerah sekitar Banjarmasin (dan Martapura).
Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu-kotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
SUKU bangsa Melayu, yang menjadi inti masyarakat Banjar, memasuki daerah ini, ketika dataran dan rawa-rawa yang luas yang saat ini membentuk bagian besar Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman. Sukubangsa Melayu itu, dengan melalui laut Jawa, memasuki teluk raksasa tersebut, lalu memudiki sungai-sungai yang bermuara ke sana, dan yang belakangan menjadi cabang-cabang sungai Negara, yang semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus. Mereka tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama.
Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal-usul dengan cikal-bakal suku-bangsa Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat asal Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meski pun kelompok suku Banjar (baca: Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga ada pada masyarakat Balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada prinsipnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya merupakan wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah ini pulalah yang kemudian dinamakan Pahuluan.
Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya. Masyarakat Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalung. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, se-hingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalung adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Manyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani, maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengrajin.

Etika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjar), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini, dan dengan demikian terbentuklah subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju yang, seperti halnya dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Manyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam, atau berimigrasi ke tempat-tempat lain, khususnya ke sebelah barat sungai Barito. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Bubuhan adalah merupakan kelompok kekerabatan ambilinial: seseorang menjadi warga masyarakat bubuhan karena ia masih se-keturunan dengan mereka, dari pihak ibu saja atau dari pihak ayah saja, mau pun kedua-duanya, dan menetap dalam lingkungan bubuhan tersebut. Seseorang dapat masuk menjadi warga kelompok apabila ia kawin dengan salah seorang warga dan menetap dalam lingkungan pemukiman mereka. Hal yang sama masih terjadi di kalangan masyarakat Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang. Kelompok bubuhan dipimpin oleh seorang warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan, yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti seorang kepala balai, yang biasanya selalu seorang balian bagi masyarakat Bukit sampai belum lama ini. Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalamnya dan kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui.
Umumnya, sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah anak kampung, gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu. Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan kesultanan di daerah, yaitu biasanya seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa pula. Beberapa orang lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun waktu yang sama. Dengan sendirinya seseorang yang menduduki jabatan formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula di dalam lingkungan bubuhannya.
Dengan demikian dapat kita nyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin juga rejim-rejim sebelumnya, diatur secara hierarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan beserta kerabatnya ditambah dengan pembesar-pembesar kerajaan (mantri-mantri). Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan membawahi beberapa kelompok bubuhan rakyat jelata pada tingkat paling bawah. Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan (kerajaan), dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di atas desa (kampung) tidak lagi ditentukan oleh keturunan, melainkan melalui pendidikan, dan ini terjadi sekitar permulaan abad ke-20, tetapi di tingkat desa peranan bubuhan masih kuat.
Setelah kesultanan Banjar dibubarkan oleh penjajah Belanda, banyak orang Banjar yang berimigrasi ke luar daerah. Salah satunya adalah ke Sapat Kerajaan Indragiri (saat ini: Kabupaten Indragiri Hilir), bahkan di antaranya ada pula yang ke Malaysia (Selangor, Kedah, dan lain-lain).[http://zuljamalie.blogdetik.com/perihal/]
------

Sabtu, 08 Mei 2010

Sastra Banjar "BALAMUT"

Lamut adalah salah satu Sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi Palamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin langka ini.
Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, Bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar – samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putera dari Maharajua Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dari Lautan Gandang Mirung yang jadi penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh paman Lamut bersama anak – anaknya yaitu Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, akhirnya Sultan Aliudin kalah.

II. Sejarah Sastra Banjar " Lamut."

Berlamut sudah ada pada zaman kuno yaitu tahun 1500 Masehi sampai tahun 1800 Masehi tetapi bercerita tidak menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan, setelah Raja Banjar Sultan Suriansyah, barulah berlamut memakai tarbang. Sebab kesenian Islam terkenal dengan Hadrah dan Burdahnya.
Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair – syair dan pantun hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dan Sastra Banjar Lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam penyebaran Islam di masyarakat Banjar.
Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak ( Jawa Tengah ) berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

III. Penyajian, Fungsi, Penggarapan, dan instrumen.

A. Penyajian

Lamut ditampilkan pada umumnya pada malam hari sebagai hiburan masyarakat Banjar pada acara perkawinan, manyampir yaitu berkaitan dengan tradisi keluarga, dan perayaan hari – hari besar atau daerah. Durasi penampilan lamut biasanya 3 jam sampai 5 jam.
Palamutan membawakan cerita duduk di sebuah meja kecil bernama cacampan yang berukuran 1,5 x 2 meter. Cacampan ini diberi titilaman ( tilam kecil ). Pada waktu dulu, di hadapan palamutan disediakan parapen ( perapian ) dupa kemenyan yang selalu berasap dan sebiji kelapa muda yang sudah dipangkas untuk minuman palamutan. Penonton lamut biasanya duduk melingkar seperti tapal kuda.
Lamut termasuk juga teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus sebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem.

B. Fungsi Sastra Banjar Lamut

Lamut berfungsi :
l. Sebagai media da’wah agama islam dan muatan pesan – pesan pemerintah atau
pesan dari pengundang lamut.
2. Sebagai hiburan
3. Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan.
4. Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak,
kitanan atau sunatan, mendapat rejeki.
Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan
membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan.
5. Sebagai pendidikan terutama mengenai tata kerama kehidupan masyarakat
Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasehat, petuah atau bimbingan moral.
C. Penggarapan Sastra Banjar Lamut

Lamut mempunyai struktur lakon, yaitu :

1. Sebelum memulai cerita, Pelamutan terlebih dahulu membunyikan tarbnang
dengan nyanyian pembukaan yang terdiri dari syair – syair dan pantun.
2. Narator dan berdialog dilaksanakan dengan terampil oleh pelamutan sendiri.
3. Antara babak –babak lakon selalu diselingi dengan lelucon atau dagelan.
4. Ditutup kembali dengan bunyi – bunyian tarbang yang dinamis.

Cerita pada lamut merupakan cerita terdahulu dari turun temurun, pakem yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku – buku yang merupakan pakem cerita lamut. Oleh karena itu, tidak jarang pelamutan membawakan kisah terjadi ada penambahan dan pengurangan pada cerita semula, bahkan ada yang keluar sama sekali dari carangan ( pakem ).
Sebenarnya pakem yang ada adalah bermula pada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Jaya Sakti yang berputra kembar , bernama Indra Bungsu dan Indra Bayu. Indra Bungsu berputra bernama Kasan Mandi, sedangkan Indra Bayu berputri Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Jung Masari dan melahirkan Bujang Maluala.
Bujang Maluala kawin dengan putri maharaja Cina bernama Dandan Amas Salian Kaca melahirkan seorang putra bernama Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hindawan Bulan melahirkan Bujang Jaya. Bujang Jaya kawin dengan putri Walayu Galuh Mamagar Sari.
Setiap dinasti ini mempunyai cerita tentang percintaan, perang dengan adu kesaktian. Dan tokoh – tokoh yang selalu hadir yaitu Paman Lamut, Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, sebagai pendamping setia, penasihat dan panglima perang dari putra –putra raja tersebut.
Setelah dinasti Bujang Bungsu, cerita lamut sudah mengalami perkembangan cerita oleh pelamutan yakni menciptakan cerita baru yang lebih menarik, tetapi masih di dalam suatu pakem. Memang kreativitas pelamutan sangat diperlukan agar cerita lebih menarik, baik bumbu dialog maupun gaya ceritanya.
Dalam pengembangan cerita dapat pula mengambil dari cerita Panji, cerita Andi – Andi, tutur candi, dongeng seribu satu malam, atau pun cerita rakyat, tetapi dalam cerita itu ada tokoh utama Lamut berikut anak – anaknya Anglung, Anggasina dan Labai Buranta.

D. Instrumen

Instrumen sebagai penunjang lakon yang digunakan oleh pelamutan adalah sebuah tarbang lamut. Tarbang ini bentuknya seperti rebana namun lebih besar, dengan ukuran berdiameter 45 sampas 60cm, terbuat dari kayu seperti kayu nangka, kayu sepat, kayu kursi atau kayu apa saja yang asal liat ( keras ), diberi kulit kambing kemudian disimpai sedemikian rupadengan rotan. Agar mengencangkan kulit tersebut diberi pasak kayu pada penampang bagian belakang tarbang dan dipasak dengan batangan rotan bagian dalamnya.
IV. Pantun dan syair dalam Sastra Banjar " Lamut."
Pelamutan setelah memukul tarbang dengan beberapa irama, sebagai tradisi maka ia menghaturkan salam kepada penonton dengan berpantun sebagai pembuka. Pantun tersebut antara lain :

Tabusa salah sarai sarapun
Bawa balayar kuliling nargi
Lamun tasalah banyak-banyak maminta ampun
Kisah Banjar dibawa kamari
Pinang anum barangkap – rangkap
Pinang tuha barundun – rundun
Lawan nang anum maminta maaf
Lawan nang tuha maminta ampun

Kemudian dilanjutkan dengan bersyair, merupakan ungkapan bermacam peristiwa, dengan berlagu. Antara lain :

Bismillah itu mula pang ku bilang
Kartas pang dawat jualan dagang
Kartasnya putih salain lapang
Pena manulis di kartas lapang
Bukan badanku pandai mangarang
Hanya taingat di dalam badan

Syair tidak sembarang ucap, tetapi berplot, seperti berikut ini :

Hanyarkurait pulang kaya bilaran
Satu pang tali, dua pang lalaran
Katiga tungkat, ampat pang ukuran
Kalima jarum, anam kulindan
Tujuh kompas, lapan padoman
Kasambilan teori politik
Kasapuluh lawan aturan

Syair yang mengungkapkan sebuah negeri atau kerajaan yang kaya raya, makmur sejahtera. Antara lain :

Nargi Palinggam Cahaya mimang sugih
Handak malunta ada hundang
Bajanggut amas, sisiknya pirak, matanya intan
Lah jua baisi jukung bapangayuh bagiwas
Ulin manggis, bapananjak buluh parindu

Ada beberapa prosa lirik merupakan monolog dalam mengungkapkan jalam cerita, maupun keindahan atau kecantikan seseorang. Misalnya :
Bengkengnya Galuh Putri Jung Masari dalam mahligai. Sabagaimana kambang nang sadang harum – harumnya. Rupa bungas, rupa nang langkar, manisnya. Bakambang goyang, bagalang di batis. Anak rambutnya malantang wilis. Putih kuning kuku panjang nipis nang kaya gambar ditulis.
Kemudian penuturan cerita biasanya dengan prosa lirik, seperti :
Kasan Mandi maluncat ka atas kuda, lamut ka atas kuda Kasan Mandi. Mamukul kuda, lamut jua, tarur Kasan Mandi mambalap ka hujung kampung nargi Palinggam Cahaya.Lamut mambontel di balakang malalui Pasiban Basar. Jauh tatinggal, maka ujar Kasan Mandi : “ Paman Lamut lakasi paman , malam pacangan kadap, subuh tatarang upih, kita mudahan sampai ka rimba rimbangun.

V. Salah satu pakem Lamut

BUJANG MALUALA
Setelah dewasa pergi berlayar tanpa tujuan, ditengah lautan tidak disangka – sangka kapalnya dilanda topan sehingga kapalnya hancur., dan kapalnya terapung hanyut sesat ke banua Cina.
Bujang Maluala beserta ponakawannya Lamut, Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta menyamar seperti orang Cina, dan masing – masing merubah nama yang disesuaikan dengan nama orang cina.
Kerajaan Cina sangat besar, rajanya bernama Tiung Dermawan mempunyai putri bernama Dandan Amas Salian Kaca serta amban. Benua Cina ini bernama Siming Dermaya.
Bujang Maluala merindukan putri raja meskipun dia belum pernah bertemu Cuma mendengar namanya saja. Kemudian dia minta agar dirinya dijual pada orang Cina itu. Lalu Lamut menjual pada raja Cina itu. Dan bertuigas sebagai pesuruh mengerjakan perintah putri di rumah.
Tak lama kemudian Bujang Maluala jatuh sakit lalu dipukul oleh putri karena dianggap malas bekerja. Bujang Maluala melarikan diri dan melaporkan hal ihwal yang dialamainya kepada Lamut. Kemudian Lamut memberikan minyak guna – guna, maka minyak itu disapukan kepada putri, akhirnya putri jatuh cinta., kemudian Bujang Maluala kawin dengan putri, dan memperoleh putra diberi nama Bujang Busur.

Balanga ( Guci Dayak )

Balanga adalah jenis guci keramik khas dari Suku Dayak, Balanga (Guci Dayak) ini memiliki harga tertinggi di antara keramik lainnya. Faktor yang menentukan harga tersebut adalah bahannya, tidak hanya dibuat dari tanah liat, tetapi dicampur dengan serbuk emas atau benda berharga lainnya dan bahkan hingga batu intan.

Fungsi Balanga dipergunakan sebagai barang adat pada acara peminangan dan tempat menyuguhkan makanan bagi para leluhur atau roh-roh suci serta dipergunakan untuk membuat "Pantan Balanga".

Motif dan ukuran Balanga sangat bervariasi. Ketinggian nilai estetika Balanga inilah yang mengilhami Pemerintah Daerah Kalteng mengabadikannya menjadi nama Museum Negeri Daerah Kalimantan Tengah. Di Museum inilah beragam koleksi Balanga berusia ratusan tahun disimpan dan dipamerkan.

Batik khas Dayak Kalimantan Tengah

Benang Bintik Batik Khas Dayak Kalimantan Tengah. Setifikasi batik sebagai produk budaya asli Indonesia yang dikeluarkan PBB melalui lembaga UNESCO merupakan momentum penting bagi perkembangan seni batik di Tanah Air.

Citra positif batik di dunia internasional tersebut berlanjut di tanah air tatkala Presiden Republik Indonesia (RI) menetapkan tanggal 2 Oktober 2009 sebagai Hari Batik Nasional.

Kondisi tersebut memberikan dampak positif bagi pelaku usaha dan pengrajin kain batik di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali Kalteng dengan motif kain batik "Benang Bintik" sebagai Motif Batik Khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.

Salah satu peluang ekonomi yang terbuka dari trend tersebut adalah pengembangan industri garmen Batik Benang Bintik di daerah. Industri kreatif ini memiliki potensi yang bagus. Syaratnya, seluruh elemen di daerah harus turut berperan aktif dalam mempromosikan beragam motif batik Benang Bintik khas Dayak Kalimantan Tengah tersebut kepada masyarakat baik di dalam maupun di luar daerah.

Beberapa waktu lalu, keharusan pemakaian Batik Khas Dayak Kalimantan Tengah (Benang Bintik) masih terbatas pada kegiatan formal seperti seragam sekolah dan kantor. Alhasil, kesan Batik Benang Bintik lantas lebih dikenal sebagai bahan busana dan pakaian resmi untuk upacara adat atau acara seremonial seperti pernikahan.

Kini, Batik Benang Bintik memang semakin dikenal, ragam busana dari motif kain Benang Bintik sering pula dipakai pada kegiatan-kegiatan seperti festival, ajang pemilihan model atau kegiatan kebudayaan dan keseniah daerah lainnya.

Di Kalimantan Tengah, utamanya di Kota Palangka Raya sendiri sentra pembuatan dan percetakan kain batik Benang Bintik masih sangat minim. Pembuatan maupun percetakan Benang Bintik lebih banyak dilakukan di luar wilayah Kalimantan Tengah. Padahal cakupan wilayah permintaan pasarannya telah tersebar luas di seluruh Kalimantan Tengah. Bahkan, model-model pakaian Benang Bintik selalu tampak di beberapa sentra usaha penjahitan.

Dalam hal jenis, Benang Bintik tergolong ke dalam berbagai motif khas, diantaranya adalah motif Batang Garing, motif Huma Betang, motif ukiran, motif senjata, motif naga, motif Balanga, motif campuran dan motif-motif lainnya.

Untuk warna dasar Benang Bintik memiliki warna yang lebih berani seperti warna merah maroon, biru, merah, kuning dan hijau. Ada juga bahan warna yang lebih gelap seperti hitam dan coklat. Bahan baku Benang Bintik umumnya menggunakan bahan kain jenis kain sutera, kain semi-sutera dan kain katun.

GARANTUNG

Garantung. Sejak masa lampau, masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah atau Kalteng telah mengenal seni musik dan perangkatnya. Selain digunakan sebagai sarana hiburan, seni musik tradisional ini juga erat hubungannya sebagai pelengkap berbagai ritual adat.

Dalam perkembangannya, masyarakat Suku Dayak Kalteng mengenal berbagai alat pendukung musik tradisional. Sebagian merupakan alat musik yang berasal dari karya cipta masyarakat Suku Dayak sendiri. Sebagian lagi merupakan serapan dari budaya musik tradisional daerah luar. Garantung merupakan alat musik tradisional khas suku Dayak Kalimantan Tengah yang tak terpisahkan dalam berbagai ritus kehidupan masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah. Selain Garantung, masyarakat Dayak Ngaju juga menyebutnya dengan Gong dan Agung. Umumnya Garantung terbuat dari bahan baku logam seperti besi, kuningan, atau perunggu.

Menurut sejarah Garantung masuk ke wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah dibawa oleh para pedagang dari tanah Jawa, tepatnya pada saat hubungan dagang antara pedagang dari Kalimantan dan Kerajaan Majapahit. Meski begitu, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Garantung ke daratan Kalimantan dibawa oleh para pedagang asal Yunan (Cina), India dan Melayu yang pada masanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan masyarakat Suku Dayak.

Di kalangan masyarakat Suku Dayak, Garantung juga dipercaya sebagai salah satu benda adat yang diturunkan dari Lewu Tatau (Surga atau Khayangan dalam bahasa Sangiang) sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan roh-roh leluhur.

Dalam komunitas masyarakat Suku Dayak, Garantung juga digunakan untuk memberi tahu masyarakat luas tentang adanya suatu acara atau pesta yang dilaksanakan oleh salah satu keluarga, dan dari salah satu kampung ke kampung lain.

Begitu juga ketika acara kematian atau upacara Tiwah khususnya para pemeluk Kaharingan, pada saat jenazah masih disemayamkan di rumah duka, Garantung akan dimainkan untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh.

Tari Kanjan sebagai salah satu tarian sakral untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh, Garantung menjadi salah satu alat untuk mengiringi tarian tersebut. Garantung akan dimainkan dengan irama khusus dan sakral.

Selain sebagai alat musik tradisional, dalam komunitas masyarakat adat Suku Dayak, Garantung juga menjadi salah satu benda berharga yang berfungsi sebagai barang adat dan dijadikan sebagai alat tukar untuk menilai sesuatu barang atau jasa.

Keperluan sebagai barang adat itu masih berlangsung hingga sekarang, khususnya pada acara adat perkawinan, Garantung menjadi salah satu mas kawin atau barang permintaan yang harus diserahkan kepada pihak ahli waris mempelai perempuan.

Pada perkembangan selanjutnya, karena terbatasnya jumlah Garantung, maka nilai sebuah garantung kemudian dihitung dalam bentuk nilai mata uang yang berlaku pada saat perjanjian perkawinan adat kedua mempelai dilakukan.

Selain itu, dahulu Garantung juga menjadi salah satu penanda status sosial seseorang. Semakin banyak garantung dimiliki oleh seseorang atau keluarga tersebut, maka akan semakin tinggi ststus sosial yang bersangkutan dan semakin tinggi pula ia dihormati oleh masyarakat.

Garantung Suku Dayak terdiri atas empat jenis dengan lima nada dasar atau laras, masing-masing adalah Garantung Tantawak, berukuran kecil dan memiliki nada dasar G atau E, Garantung Lisung dengan ukuran sedang memiliki nada dasar D atau C, Garantung Papar berukuran besar dengan nada dasar A, serta sebuah Garantung Bandih yang berbentuk kecil tetapi memiliki nada yang tinggi.

Jumat, 07 Mei 2010

Baturai Pantun

BATURAI PANTUN
(Pakakas Manangkap Iwak)

Oleh: Ampeak Sie Kaminting Pidakan, Kalua


Subuh itu pina rami rucau di warung pambakal. Ada Julak Pirhan, Julak Adum, Julak Zaki, wan Julak Roni. Wan banyak lagi bubuhan kampung Jingah Rabit. Rame tatawaan, rame brokoan, rame bpandiran. Kada lawas mandarau tatawaan, lalu pambakal basuara, “Umai lah, barapa kilo saorang bajual iwak subuh tadi?”

Lalu Julak Pirhan manyahut, “Kada pang mun banyak, tahan gasan manyalukut muntung!”

Mandarau tatawaan nang lain. Kada lawas datang Julak Hirman ka warung, “Ae napa ne pina rame, pina nyaman dilihat?”

Lalu Julak Adum manyahut, “Kisah olehan iwak pang!”

Julak Hirman baucap, “Nah pas jua, kawa aku umpat manyambung, bajual jua subuh tadi.”

Lalu ae Julak Hirman mambuka pantun : Imbah dikupas dikumpulkan/ maulah mandai kulit tiwadak/ amun kada kalumpanan/ sambat pakakas manangkap iwak?

Julak Roni lalu manyahut : Wayah subuh basungsung bangun/ handak tulak ka banyiur/ tantaran panjang disambat unjun/ nang tahandap ngarannya banjur.

Julak Zaki umpat juwa : Batang rambai ditatak rata/ dibujurakan disusun susun/ bakajut ditimbai ngaranya lunta/ amun takait wani batajun.

Julak Adum kada mau kalah : Naik nyiur sambil bakadap/buahnya labat pitung tundunan/lukah, tangkalak, lawan sarakap/Manangkap iwak di pahumaan.


Julak Pirhan manyahut : Cacak basarang di buncu tawing/hintalunya banyak sampai guguran/ Hancau, hampang, suduk, tangkawing/ nang dipasang di susungaian.


Julak Zaki manyahut pulang : Limau kuit si limau purut/ Pisang manggala biginya hirang/ Lawan tangguk di banyu surut/ Iwak jauh disirapang.

(Mun ada sambungannya, sambungakan!)



Catatan:
Nah kaitu pang kabudayaan di kampung Jingah Rabit, budaya asli Banjar, budaya baturai pantun (batawak pantun ada jua nang manyambat ba adu pantun) Tapi zaman wahini budaya baturai pantun sudah jarang ditamukan. Terakhir nang unda tau, ngaranya di desa Pulau Damar Banjang wan Batu Mandi di wadahnya bini Julak Adum bagana masih dipakai urang waktu banikahan. (Pitua: Mun kita saing manggaduh, kada pacang Banjar hilang di bumi).