Selasa, 01 Juni 2010

BAGAMPIRAN

Bagampiran dalam Masyarakat Banjar

Bagampir atau bagampiran adalah persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh, yakni, roh manusia yang hidup di alam dunia (fisik) dengan roh yang hidup di alam gaib (metafisik). Dalam kehidupan masyarakat Banjar, bagampiran adalah sesuatu yang realitas, bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan masyarakat Banjar terhadap roh dan alam gaib.
Makna
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian berjudul: "Bagampiran dan Kepercayaan Masyarakat Banjar Terhadap Roh", yang saya lakukan dalam rentang waktu yang lumayan lama, dan masih dalam proses pengayaan informasi serta data. Namun saya rasa perlu untuk dipublikasikan, walaupun ala kadarnya.
Bagampiran cukup signifikan untuk diteliti, karena secara luas memperlihatkan berbagai permasalahan penting kepada kita berkenaan dengan kepercayaan orang Banjar terhadap roh (dunia jin dan alam gaib). Misalnya, apakah roh orang mati bisa berhubungan (bahkan bersatu atau bagampir) dengan roh orang hidup? Jika bisa, maka ketika mati ke mana atau di mana sebenarnya roh tersebut berada? Yang menggampiri tersebut apakah benar roh ataukah jin? Apakah benar manusia biasa (tokoh-tokoh tertentu) bisa berubah, tidak mati, dan menjadi penghuni alam gaib, sehingga bisa dihubungi? Apakah seseorang bisa pindah statusnya, dari penghuni alam dunia menjadi penghuni alam gaib? Jika bisa apakah kehidupannya di alam gaib dalam bentuk fisik ataukah dalam bentuk roh? dan lain-lain.
Menurut bahasa, bagampiran, terambil dari kata dasar gampir yang dalam kosa kata bahasa Banjar bermakna rekat, satu, atau dempet. Bagampir, berarti bersatu, menyatu, atau berdempet, yakni sesuatu yang menjadi satu atau berdempet, dua benda yang berdempet menjadi satu atau merekat, misalnya buah. Gampir bisa pula berarti bersatu atau menjadi satu sesuatu yang sama sifat dan jenisnya atau kembar.
Adapun yang dimaksud dengan gampir atau bagampir dalam konteks di sini bukan berarti merekat, berdempet, atau bersatunya suatu benda secara fisik, seperti yang umum terjadi pada buah (misalnya buah pisang), telur ayam, dan lain-lain. Tetapi, kata gampir atau bagampir yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan persatuan dan perpaduan secara rohani antara dua roh,roh manusia yang hidup di alam nyata (dunia) dan satu lagi yang hidup di alam gaib (metafisik). Karena itu, kata bagampiran (mendapat awalan ba, yang sama dengan awalan ber) dan akhiran an berarti mereka yang memiliki gampiran. Gampiran adalah roh-roh dari alam gaib yang memasuki, merasuki, bersatu dengan roh manusia (orang yang digampiri). Digampiri berarti dimasuki, dirasuki, atau disusupi oleh roh (roh halus) yang berasal dari alam gaib.
Di samping itu, kata lain yang memiliki makna dan fenomena serupa dengan bagampiran adalah barasuk dan kesurupan.
Barasuk berarti menyatukan diri secara rohani dengan rohani orang lain yang dikehendaki untuk mendapatkan sesuatu (kekuatan, keterampilan, keahlian, atau kepandaian) pada saat-saat yang dikehendaki setelah melalui ritual tertentu (meditasi atau wiridan, misalnya).
Kasurupan atau kerasukan adalah orang yang terkena gangguan atau dirasuki oleh roh halus atau jin jahat, yang secara kejiwaan sering dikatakan kena pulasit. Karena itu kasurupan atau kerasukan bersifat negatif karena mengganggu atau menyakiti orang yang kerasukan tersebut. Sedangkan Bagampiran tidak bisa diminta atau diinginkan dan pada kebanyakan kasus tidak bisa pula ditolak. Sebab, bagampiran hanya terjadi pada orang-orang tertentu saja. Karenanya, bagampiran tidak berimplikasi negatif, tetapi dalam rangka memberi bantuan atau pertolongan kepada orang lain dan keluarga yang digampiri khususnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, sifat dari bagampiran adalah pasif dan positif, sifat dari barasuk aktif dan umumnya positif, sedangkan sifat dari kesurupan adalah pasif dan negatif. Semuanya bersifat sementara, tetapi bagampiran lebih permanen. Karena itu bagampiran berbeda dengan kesurupan, sebab walaupun orang yang digampiri atau dirasuki sama-sama tidak sadar tetapi kalau kesurupan lebih membawa mudharat kepada orang yang dirasuki sedangkan orang yang dimasuki gampirannya tidak apa-apa. Bahkan waktu-waktu terjadinya bagampiran itu adalah waktu-waktu yang biasanya memang diperlukan, misalnya karena ada orang meminta pertolongan dan hajat tertentu atau karena ada sesuatu yang bersifat penting yang hendak diberitahukan oleh gampirannya.

Dilihat dari pengertian di atas, maka secara maknawi, bagampiran memiliki dan memperlihatkan kesamaan arti (sifat) dengan reinkarnasi yang dipercayai oleh suku bangsa Yunani kuno, beberapa kelompok masyarakat primitif, sebagian orang Syiah, beberapa kelompok gerakan spiritualisme (misalnya di India), penganut agama Budha, Hindu, orang-orang Tionghoa (China), dan pengikut Dalai Lama di Tibet. Konsep bagampiran juga memperlihatkan kemiripan dengan proses terjadinya ittihad atau hulul, (penyatuan dengan Tuhan) dalam dunia sufi (tasawuf).
Proses bagampiran adalah proses penyatuan atau masuknya roh (roh orang gaib, roh tokoh yang sudah meninggal, atau jin) ke dalam tubuh seseorang. Sedangkan reinkarnasi berarti hidup atau masuknya kembali roh yang meninggal ke dalam tubuhnya yang baru.
Dalam realitas masyarakat Banjar sendiri bagampiran adalah sesuatu yang bersifat personal dan magis, diakui dan dipercayai oleh masyarakat luas, karena dialami oleh orang-orang tertentu. Walaupun secara rasional-ilmiah agak sulit dibuktikan. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai ilmuwan di Barat, misalnya penelitian Dr. Raymond A Moody tentang orang-orang yang mati suri, pengalaman pertemuan dan komunikasi dengan roh orang-orang yang sudah meninggal (Sayyid Hasan Abthahy, Rahasia Alam Arwah, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), meja bundar, mediator, dan berhubungan dengan roh (Nashir Makarim Syirazi, Berhubungan dengan Roh, Jakarta: Penerbit Lentera, 2005), dan lain-lain, maka bagampiran sebagai fenomena metafisik merupakan suatu yang khas berkenaan dengan paham dan kepercayaan suatu masyarakat (Banjar) dan masuk dalam wilayah kajian psikologi tentang hal-hal yang gaib atau supranatural (Parapsikologi).
Jenis Gampiran
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang saya lakukan, setidaknya ada empat jenis bagampiran:
Pertama, bagampiran dengan kembaran (saudara) kandung sendiri yang dianggap hilang atau gaib atau meninggal ketika sama-sama dilahirkan.
Kedua, bagampiran dengan anggota keluarga yang telah meninggal dunia atau memiliki hubungan darah (geneologis).
Ketiga, bagampiran dengan tokoh-tokoh yang pernah hidup pada masa sebelumnya atau masa lalu yang telah gaib dan menjadi penghuni alam gaib, misalnya Pangeran Suryanata, Putri Junjung Buih, Lambung Mangkurat, Putri Mayang Sari, dan sebagainya (ada asumsi bahwa mereka yang bagampiran dengan tokoh-tokoh tertentu ini umumnya juga memiliki hubungan darah/keturunan dari tokoh dimaksud, sebagaimana pengakuan dari mereka yang memiliki gampiran).
Keempat, bagampiran dengan orang-orang dari alam gaib (jin), yang kadang-kadang hadir atau menjelma (manyaru) dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk binatang (biasanya agak aneh, unik, atau langka), ular, belalang, dan lain-lain, yang kehadirannya tidak boleh diganggu atau diusik
Agak susah memang menjelaskan secara ilmiah terjadinya proses bagampiran tersebut, tetapi biasanya mereka yang bagampiran lebih disebabkan oleh karena adanya hubungan darah (geneologis) atau faktor keturunan, sehingga mereka yang digampiri dianggap sebagai "orang pilihan", yakni mereka-mereka yang secara kejiwaan dikatakan memiliki bakat indigos (bakat untuk melihat atau berhubungan dengan hal-hal yang gaib, seperti paranormal), katakanlah memiliki indera keenam. Karenanya, bagampiran itu adalah sesuatu yang terjadi tanpa bisa dikehendaki, dan bahkan pada kebanyakan kasus merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak, oleh mereka yang digampiri.
Implikasi Bagampiran
Implikasi dari bagampiran itu sendiri biasanya menjadikan seseorang yang digampiri memiliki semacam kekuatan gaib (mana) atau tuah. Mana adalah sebuah kekuatan gaib, kekuatan batin yang rahasianya tidak diketahui, bersifat personal dan misterius, yang melekat pada suatu benda atau dimiliki seseorang yang dianggap luar biasa. Mana disebut pula dengan kami (Jepang), hari atau shakti (India), oudah (Pigmi Afrika), wakan, orenda, dan maniti (Indian Amerika). Sehingga dengan kekuatan gaib tersebut ia bisa menolong orang lain dan memposisikan dirinya (pada kebanyakan kasus) sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan dan kelebihan tertentu, seperti:

(1) Mampu memberikan air penawar untuk mereka yang menderita sakit-sakit tertentu, seperti sakit panas, sakit perut, sakit kepala, masuk angin (manyamak), kapuhunan, kapidaraan (ditagur urang halus), dan sejenisnya.

2) Mampu memberikan pengobatan terhadap orang yang terkena sakit akibat pengaruh gaib atau kekuatan magis (kena santet, teluh, atau guna-guna) atau terkena racun gaduhan, terkena pulasit, dan sebagainya yang tidak bisa diobati secara medis. Pengobatan ini dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan ritual tertentu, seperti memberi rajahan, wafak, pengobatan, air tawar yang mengandung manna, mandi (mandi kembang, mandi dengan kain berwarna, mandi membuang sial, mandi kebal), maupun ritual yang lain.

(3) Memiliki kekuatan gaib, misalnya melihat benda-benda gaib, alam gaib, bisa berhubungan dengan orang gaib, melihat barang yang hilang, dapat membaca tanda-tanda gaib, dan lain-lain.

(4) Mampu berkomunikasi dengan orang gaib, sehingga mampu mengetahui maksud dan keinginan orang gaib. Memberikan informasi-informasi tertentu yang bersifat penting, memberi peringatan, bahkan juga pelajaran-pelajaran tertentu.
Kemampuan untuk memberikan air tawar, mengobati orang kena guna-guna, atau sakit karena kekuatan magis, memiliki kekuatan gaib, mampu melihat dan berkomunikasi dengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seordengan alam gaib dan seterusnya ini, terkadang juga dimiliki oleh seorang tuan guru, alim ulama yang tinggi ilmu agama dan kuat amal ibadahnya, atau oleh mereka yang telah lulus dalam menjalani ritual serta prosesi tertentu untuk meraih kemampuan tersebut (misalnya dengan meditasi, wiridan, balampah atau tirakat, puasa, dan sebagainya).
Untuk menjaga hubungan baik dengan orang yang menggampiri, (pada kasus-kasus tertentu yang saya temui) mereka yang memiliki gampiran biasanya disuruh untuk menyiapkan kopi pahit, kue (roti kelemben), dan air kembang saban malam Jumat, atau kamar dan kelambu khusus (kelambu kecil) sebagai simbol tempat tinggal gampirannya, tidak melakukan pantangan, tidak berbuat maksiat, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas di atas, bagaimana pandangan dunia modern terhadap bagampiran? Pertanyaan ini signifikan tetapi agak susah dijawab, karena untuk menjelaskannya secara panjang lebar diperlukan kajian yang mendalam. Sebab untuk melahirkan persepktif yang multi dimensi terhadap bagampiran diperlukan kajian secara historis, antropolgis, sosiologis, dan magis, guna menghasilkan pengetahuan dan data yang komprehensif berkenaan dengan sejarah terjadinya bagampiran. Mengapa terjadi bagampiran? Bagaimana terjadinya bagampiran? Apa makna yang terkandung dalam bagampiran? Benarkah bagampiran itu terjadi? Adakah bagampiran itu terkait dengan dunia tasawuf (sufi), misalnya dengan aliran hulul, ittihad, atau fana? Apa hubungan bagampiran dengan reinkarnasi? dan sebagainya. Tentu saja forum ini tidak cukup bagi saya untuk menjelaskannya secara panjang lebar, karena itu cukuplah saya katakan bahwa dalam konteks dunia jin, bagampiran itu bisa diqiyaskan dan kurang lebih sama dengan istilah muwakkal, yakni berkawan dengan jin.
Berdasarkan uraian di atas, secara teologis bagampiran memperlihatkan kepada kita bagaimana konsep dan pemahaman masyarakat Banjar tentang dunia jin, alam gaib, dan roh. Pertama, sebagian masyarakat Banjar mempercayai bahwa ada orang-orang tertentu (tokoh) yang hidup pada zaman dahulu tidak mati, tetapi mereka menjadi orang gaib dan hidup di alam gaib (alam sabalah). Kedua, pada kasus-kasus tertentu, orang-orang yang hilang secara gaib dipercayai masih hidup tetapi hidupnya di alam gaib. Ketiga, roh-roh dari tokoh-tokoh tertentu bisa berhubungan atau menghubungi keluarganya dan orang-orang tertentu yang dikehendaki. Keempat, orang-orang yang hidup di alam nyata bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan orang-orang dari alam gaib (termasuk jin). Wallahua'lam
[http://zuljamalie.blogdetik.com/2008/08/04/bagampiran-dalam-masyarakat/]E-Book By [M. Ridhanie Elbanz] Email [maedhanie@gmail.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar