Sabtu, 08 Mei 2010

Sastra Banjar "BALAMUT"

Lamut adalah salah satu Sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi Palamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin langka ini.
Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, Bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar – samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putera dari Maharajua Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dari Lautan Gandang Mirung yang jadi penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh paman Lamut bersama anak – anaknya yaitu Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, akhirnya Sultan Aliudin kalah.

II. Sejarah Sastra Banjar " Lamut."

Berlamut sudah ada pada zaman kuno yaitu tahun 1500 Masehi sampai tahun 1800 Masehi tetapi bercerita tidak menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan, setelah Raja Banjar Sultan Suriansyah, barulah berlamut memakai tarbang. Sebab kesenian Islam terkenal dengan Hadrah dan Burdahnya.
Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair – syair dan pantun hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dan Sastra Banjar Lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam penyebaran Islam di masyarakat Banjar.
Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak ( Jawa Tengah ) berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

III. Penyajian, Fungsi, Penggarapan, dan instrumen.

A. Penyajian

Lamut ditampilkan pada umumnya pada malam hari sebagai hiburan masyarakat Banjar pada acara perkawinan, manyampir yaitu berkaitan dengan tradisi keluarga, dan perayaan hari – hari besar atau daerah. Durasi penampilan lamut biasanya 3 jam sampai 5 jam.
Palamutan membawakan cerita duduk di sebuah meja kecil bernama cacampan yang berukuran 1,5 x 2 meter. Cacampan ini diberi titilaman ( tilam kecil ). Pada waktu dulu, di hadapan palamutan disediakan parapen ( perapian ) dupa kemenyan yang selalu berasap dan sebiji kelapa muda yang sudah dipangkas untuk minuman palamutan. Penonton lamut biasanya duduk melingkar seperti tapal kuda.
Lamut termasuk juga teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus sebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem.

B. Fungsi Sastra Banjar Lamut

Lamut berfungsi :
l. Sebagai media da’wah agama islam dan muatan pesan – pesan pemerintah atau
pesan dari pengundang lamut.
2. Sebagai hiburan
3. Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan.
4. Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak,
kitanan atau sunatan, mendapat rejeki.
Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan
membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan.
5. Sebagai pendidikan terutama mengenai tata kerama kehidupan masyarakat
Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasehat, petuah atau bimbingan moral.
C. Penggarapan Sastra Banjar Lamut

Lamut mempunyai struktur lakon, yaitu :

1. Sebelum memulai cerita, Pelamutan terlebih dahulu membunyikan tarbnang
dengan nyanyian pembukaan yang terdiri dari syair – syair dan pantun.
2. Narator dan berdialog dilaksanakan dengan terampil oleh pelamutan sendiri.
3. Antara babak –babak lakon selalu diselingi dengan lelucon atau dagelan.
4. Ditutup kembali dengan bunyi – bunyian tarbang yang dinamis.

Cerita pada lamut merupakan cerita terdahulu dari turun temurun, pakem yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku – buku yang merupakan pakem cerita lamut. Oleh karena itu, tidak jarang pelamutan membawakan kisah terjadi ada penambahan dan pengurangan pada cerita semula, bahkan ada yang keluar sama sekali dari carangan ( pakem ).
Sebenarnya pakem yang ada adalah bermula pada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Jaya Sakti yang berputra kembar , bernama Indra Bungsu dan Indra Bayu. Indra Bungsu berputra bernama Kasan Mandi, sedangkan Indra Bayu berputri Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Jung Masari dan melahirkan Bujang Maluala.
Bujang Maluala kawin dengan putri maharaja Cina bernama Dandan Amas Salian Kaca melahirkan seorang putra bernama Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hindawan Bulan melahirkan Bujang Jaya. Bujang Jaya kawin dengan putri Walayu Galuh Mamagar Sari.
Setiap dinasti ini mempunyai cerita tentang percintaan, perang dengan adu kesaktian. Dan tokoh – tokoh yang selalu hadir yaitu Paman Lamut, Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, sebagai pendamping setia, penasihat dan panglima perang dari putra –putra raja tersebut.
Setelah dinasti Bujang Bungsu, cerita lamut sudah mengalami perkembangan cerita oleh pelamutan yakni menciptakan cerita baru yang lebih menarik, tetapi masih di dalam suatu pakem. Memang kreativitas pelamutan sangat diperlukan agar cerita lebih menarik, baik bumbu dialog maupun gaya ceritanya.
Dalam pengembangan cerita dapat pula mengambil dari cerita Panji, cerita Andi – Andi, tutur candi, dongeng seribu satu malam, atau pun cerita rakyat, tetapi dalam cerita itu ada tokoh utama Lamut berikut anak – anaknya Anglung, Anggasina dan Labai Buranta.

D. Instrumen

Instrumen sebagai penunjang lakon yang digunakan oleh pelamutan adalah sebuah tarbang lamut. Tarbang ini bentuknya seperti rebana namun lebih besar, dengan ukuran berdiameter 45 sampas 60cm, terbuat dari kayu seperti kayu nangka, kayu sepat, kayu kursi atau kayu apa saja yang asal liat ( keras ), diberi kulit kambing kemudian disimpai sedemikian rupadengan rotan. Agar mengencangkan kulit tersebut diberi pasak kayu pada penampang bagian belakang tarbang dan dipasak dengan batangan rotan bagian dalamnya.
IV. Pantun dan syair dalam Sastra Banjar " Lamut."
Pelamutan setelah memukul tarbang dengan beberapa irama, sebagai tradisi maka ia menghaturkan salam kepada penonton dengan berpantun sebagai pembuka. Pantun tersebut antara lain :

Tabusa salah sarai sarapun
Bawa balayar kuliling nargi
Lamun tasalah banyak-banyak maminta ampun
Kisah Banjar dibawa kamari
Pinang anum barangkap – rangkap
Pinang tuha barundun – rundun
Lawan nang anum maminta maaf
Lawan nang tuha maminta ampun

Kemudian dilanjutkan dengan bersyair, merupakan ungkapan bermacam peristiwa, dengan berlagu. Antara lain :

Bismillah itu mula pang ku bilang
Kartas pang dawat jualan dagang
Kartasnya putih salain lapang
Pena manulis di kartas lapang
Bukan badanku pandai mangarang
Hanya taingat di dalam badan

Syair tidak sembarang ucap, tetapi berplot, seperti berikut ini :

Hanyarkurait pulang kaya bilaran
Satu pang tali, dua pang lalaran
Katiga tungkat, ampat pang ukuran
Kalima jarum, anam kulindan
Tujuh kompas, lapan padoman
Kasambilan teori politik
Kasapuluh lawan aturan

Syair yang mengungkapkan sebuah negeri atau kerajaan yang kaya raya, makmur sejahtera. Antara lain :

Nargi Palinggam Cahaya mimang sugih
Handak malunta ada hundang
Bajanggut amas, sisiknya pirak, matanya intan
Lah jua baisi jukung bapangayuh bagiwas
Ulin manggis, bapananjak buluh parindu

Ada beberapa prosa lirik merupakan monolog dalam mengungkapkan jalam cerita, maupun keindahan atau kecantikan seseorang. Misalnya :
Bengkengnya Galuh Putri Jung Masari dalam mahligai. Sabagaimana kambang nang sadang harum – harumnya. Rupa bungas, rupa nang langkar, manisnya. Bakambang goyang, bagalang di batis. Anak rambutnya malantang wilis. Putih kuning kuku panjang nipis nang kaya gambar ditulis.
Kemudian penuturan cerita biasanya dengan prosa lirik, seperti :
Kasan Mandi maluncat ka atas kuda, lamut ka atas kuda Kasan Mandi. Mamukul kuda, lamut jua, tarur Kasan Mandi mambalap ka hujung kampung nargi Palinggam Cahaya.Lamut mambontel di balakang malalui Pasiban Basar. Jauh tatinggal, maka ujar Kasan Mandi : “ Paman Lamut lakasi paman , malam pacangan kadap, subuh tatarang upih, kita mudahan sampai ka rimba rimbangun.

V. Salah satu pakem Lamut

BUJANG MALUALA
Setelah dewasa pergi berlayar tanpa tujuan, ditengah lautan tidak disangka – sangka kapalnya dilanda topan sehingga kapalnya hancur., dan kapalnya terapung hanyut sesat ke banua Cina.
Bujang Maluala beserta ponakawannya Lamut, Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta menyamar seperti orang Cina, dan masing – masing merubah nama yang disesuaikan dengan nama orang cina.
Kerajaan Cina sangat besar, rajanya bernama Tiung Dermawan mempunyai putri bernama Dandan Amas Salian Kaca serta amban. Benua Cina ini bernama Siming Dermaya.
Bujang Maluala merindukan putri raja meskipun dia belum pernah bertemu Cuma mendengar namanya saja. Kemudian dia minta agar dirinya dijual pada orang Cina itu. Lalu Lamut menjual pada raja Cina itu. Dan bertuigas sebagai pesuruh mengerjakan perintah putri di rumah.
Tak lama kemudian Bujang Maluala jatuh sakit lalu dipukul oleh putri karena dianggap malas bekerja. Bujang Maluala melarikan diri dan melaporkan hal ihwal yang dialamainya kepada Lamut. Kemudian Lamut memberikan minyak guna – guna, maka minyak itu disapukan kepada putri, akhirnya putri jatuh cinta., kemudian Bujang Maluala kawin dengan putri, dan memperoleh putra diberi nama Bujang Busur.

Balanga ( Guci Dayak )

Balanga adalah jenis guci keramik khas dari Suku Dayak, Balanga (Guci Dayak) ini memiliki harga tertinggi di antara keramik lainnya. Faktor yang menentukan harga tersebut adalah bahannya, tidak hanya dibuat dari tanah liat, tetapi dicampur dengan serbuk emas atau benda berharga lainnya dan bahkan hingga batu intan.

Fungsi Balanga dipergunakan sebagai barang adat pada acara peminangan dan tempat menyuguhkan makanan bagi para leluhur atau roh-roh suci serta dipergunakan untuk membuat "Pantan Balanga".

Motif dan ukuran Balanga sangat bervariasi. Ketinggian nilai estetika Balanga inilah yang mengilhami Pemerintah Daerah Kalteng mengabadikannya menjadi nama Museum Negeri Daerah Kalimantan Tengah. Di Museum inilah beragam koleksi Balanga berusia ratusan tahun disimpan dan dipamerkan.

Batik khas Dayak Kalimantan Tengah

Benang Bintik Batik Khas Dayak Kalimantan Tengah. Setifikasi batik sebagai produk budaya asli Indonesia yang dikeluarkan PBB melalui lembaga UNESCO merupakan momentum penting bagi perkembangan seni batik di Tanah Air.

Citra positif batik di dunia internasional tersebut berlanjut di tanah air tatkala Presiden Republik Indonesia (RI) menetapkan tanggal 2 Oktober 2009 sebagai Hari Batik Nasional.

Kondisi tersebut memberikan dampak positif bagi pelaku usaha dan pengrajin kain batik di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali Kalteng dengan motif kain batik "Benang Bintik" sebagai Motif Batik Khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.

Salah satu peluang ekonomi yang terbuka dari trend tersebut adalah pengembangan industri garmen Batik Benang Bintik di daerah. Industri kreatif ini memiliki potensi yang bagus. Syaratnya, seluruh elemen di daerah harus turut berperan aktif dalam mempromosikan beragam motif batik Benang Bintik khas Dayak Kalimantan Tengah tersebut kepada masyarakat baik di dalam maupun di luar daerah.

Beberapa waktu lalu, keharusan pemakaian Batik Khas Dayak Kalimantan Tengah (Benang Bintik) masih terbatas pada kegiatan formal seperti seragam sekolah dan kantor. Alhasil, kesan Batik Benang Bintik lantas lebih dikenal sebagai bahan busana dan pakaian resmi untuk upacara adat atau acara seremonial seperti pernikahan.

Kini, Batik Benang Bintik memang semakin dikenal, ragam busana dari motif kain Benang Bintik sering pula dipakai pada kegiatan-kegiatan seperti festival, ajang pemilihan model atau kegiatan kebudayaan dan keseniah daerah lainnya.

Di Kalimantan Tengah, utamanya di Kota Palangka Raya sendiri sentra pembuatan dan percetakan kain batik Benang Bintik masih sangat minim. Pembuatan maupun percetakan Benang Bintik lebih banyak dilakukan di luar wilayah Kalimantan Tengah. Padahal cakupan wilayah permintaan pasarannya telah tersebar luas di seluruh Kalimantan Tengah. Bahkan, model-model pakaian Benang Bintik selalu tampak di beberapa sentra usaha penjahitan.

Dalam hal jenis, Benang Bintik tergolong ke dalam berbagai motif khas, diantaranya adalah motif Batang Garing, motif Huma Betang, motif ukiran, motif senjata, motif naga, motif Balanga, motif campuran dan motif-motif lainnya.

Untuk warna dasar Benang Bintik memiliki warna yang lebih berani seperti warna merah maroon, biru, merah, kuning dan hijau. Ada juga bahan warna yang lebih gelap seperti hitam dan coklat. Bahan baku Benang Bintik umumnya menggunakan bahan kain jenis kain sutera, kain semi-sutera dan kain katun.

GARANTUNG

Garantung. Sejak masa lampau, masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah atau Kalteng telah mengenal seni musik dan perangkatnya. Selain digunakan sebagai sarana hiburan, seni musik tradisional ini juga erat hubungannya sebagai pelengkap berbagai ritual adat.

Dalam perkembangannya, masyarakat Suku Dayak Kalteng mengenal berbagai alat pendukung musik tradisional. Sebagian merupakan alat musik yang berasal dari karya cipta masyarakat Suku Dayak sendiri. Sebagian lagi merupakan serapan dari budaya musik tradisional daerah luar. Garantung merupakan alat musik tradisional khas suku Dayak Kalimantan Tengah yang tak terpisahkan dalam berbagai ritus kehidupan masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah. Selain Garantung, masyarakat Dayak Ngaju juga menyebutnya dengan Gong dan Agung. Umumnya Garantung terbuat dari bahan baku logam seperti besi, kuningan, atau perunggu.

Menurut sejarah Garantung masuk ke wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah dibawa oleh para pedagang dari tanah Jawa, tepatnya pada saat hubungan dagang antara pedagang dari Kalimantan dan Kerajaan Majapahit. Meski begitu, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Garantung ke daratan Kalimantan dibawa oleh para pedagang asal Yunan (Cina), India dan Melayu yang pada masanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan masyarakat Suku Dayak.

Di kalangan masyarakat Suku Dayak, Garantung juga dipercaya sebagai salah satu benda adat yang diturunkan dari Lewu Tatau (Surga atau Khayangan dalam bahasa Sangiang) sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan roh-roh leluhur.

Dalam komunitas masyarakat Suku Dayak, Garantung juga digunakan untuk memberi tahu masyarakat luas tentang adanya suatu acara atau pesta yang dilaksanakan oleh salah satu keluarga, dan dari salah satu kampung ke kampung lain.

Begitu juga ketika acara kematian atau upacara Tiwah khususnya para pemeluk Kaharingan, pada saat jenazah masih disemayamkan di rumah duka, Garantung akan dimainkan untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh.

Tari Kanjan sebagai salah satu tarian sakral untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh, Garantung menjadi salah satu alat untuk mengiringi tarian tersebut. Garantung akan dimainkan dengan irama khusus dan sakral.

Selain sebagai alat musik tradisional, dalam komunitas masyarakat adat Suku Dayak, Garantung juga menjadi salah satu benda berharga yang berfungsi sebagai barang adat dan dijadikan sebagai alat tukar untuk menilai sesuatu barang atau jasa.

Keperluan sebagai barang adat itu masih berlangsung hingga sekarang, khususnya pada acara adat perkawinan, Garantung menjadi salah satu mas kawin atau barang permintaan yang harus diserahkan kepada pihak ahli waris mempelai perempuan.

Pada perkembangan selanjutnya, karena terbatasnya jumlah Garantung, maka nilai sebuah garantung kemudian dihitung dalam bentuk nilai mata uang yang berlaku pada saat perjanjian perkawinan adat kedua mempelai dilakukan.

Selain itu, dahulu Garantung juga menjadi salah satu penanda status sosial seseorang. Semakin banyak garantung dimiliki oleh seseorang atau keluarga tersebut, maka akan semakin tinggi ststus sosial yang bersangkutan dan semakin tinggi pula ia dihormati oleh masyarakat.

Garantung Suku Dayak terdiri atas empat jenis dengan lima nada dasar atau laras, masing-masing adalah Garantung Tantawak, berukuran kecil dan memiliki nada dasar G atau E, Garantung Lisung dengan ukuran sedang memiliki nada dasar D atau C, Garantung Papar berukuran besar dengan nada dasar A, serta sebuah Garantung Bandih yang berbentuk kecil tetapi memiliki nada yang tinggi.

Jumat, 07 Mei 2010

Baturai Pantun

BATURAI PANTUN
(Pakakas Manangkap Iwak)

Oleh: Ampeak Sie Kaminting Pidakan, Kalua


Subuh itu pina rami rucau di warung pambakal. Ada Julak Pirhan, Julak Adum, Julak Zaki, wan Julak Roni. Wan banyak lagi bubuhan kampung Jingah Rabit. Rame tatawaan, rame brokoan, rame bpandiran. Kada lawas mandarau tatawaan, lalu pambakal basuara, “Umai lah, barapa kilo saorang bajual iwak subuh tadi?”

Lalu Julak Pirhan manyahut, “Kada pang mun banyak, tahan gasan manyalukut muntung!”

Mandarau tatawaan nang lain. Kada lawas datang Julak Hirman ka warung, “Ae napa ne pina rame, pina nyaman dilihat?”

Lalu Julak Adum manyahut, “Kisah olehan iwak pang!”

Julak Hirman baucap, “Nah pas jua, kawa aku umpat manyambung, bajual jua subuh tadi.”

Lalu ae Julak Hirman mambuka pantun : Imbah dikupas dikumpulkan/ maulah mandai kulit tiwadak/ amun kada kalumpanan/ sambat pakakas manangkap iwak?

Julak Roni lalu manyahut : Wayah subuh basungsung bangun/ handak tulak ka banyiur/ tantaran panjang disambat unjun/ nang tahandap ngarannya banjur.

Julak Zaki umpat juwa : Batang rambai ditatak rata/ dibujurakan disusun susun/ bakajut ditimbai ngaranya lunta/ amun takait wani batajun.

Julak Adum kada mau kalah : Naik nyiur sambil bakadap/buahnya labat pitung tundunan/lukah, tangkalak, lawan sarakap/Manangkap iwak di pahumaan.


Julak Pirhan manyahut : Cacak basarang di buncu tawing/hintalunya banyak sampai guguran/ Hancau, hampang, suduk, tangkawing/ nang dipasang di susungaian.


Julak Zaki manyahut pulang : Limau kuit si limau purut/ Pisang manggala biginya hirang/ Lawan tangguk di banyu surut/ Iwak jauh disirapang.

(Mun ada sambungannya, sambungakan!)



Catatan:
Nah kaitu pang kabudayaan di kampung Jingah Rabit, budaya asli Banjar, budaya baturai pantun (batawak pantun ada jua nang manyambat ba adu pantun) Tapi zaman wahini budaya baturai pantun sudah jarang ditamukan. Terakhir nang unda tau, ngaranya di desa Pulau Damar Banjang wan Batu Mandi di wadahnya bini Julak Adum bagana masih dipakai urang waktu banikahan. (Pitua: Mun kita saing manggaduh, kada pacang Banjar hilang di bumi).